Kamis, 13 Agustus 2015

Ibu dan Hijabku


    Dear Ukhti,, hijrah menuju syar’i adalah posisi yang sulit untukku. Mengenakan hijab bisa dikatakan baru untuk aku karena hijab ini baru menutup rambutku ketika aku lulus sekolah menengah atas (SMA) mungkin kurang lebih sekitar 2 tahun. Awal lulus, hijab ini kupakai saat wisuda meski masih belum sempurna tapi menuai beragam tanggapan dari semua temanku ada yang memuji ada pula yang ragu dengan keputusanku ini. Sebenarnya sudah lama aku ingin berhijab tapi ibu ragu dengan keputusanku karena takut nantinya tidak akan istiqomah seperti kalau ada penilaian renang nanti hijabnya di lepas. Alasan ibu ada benarnya juga pikirku kali itu, karena temanku juga seperti alasan ibu.
Langkah setelah lulus adalah memilih perguruan tinggi, ini juga membuatku bingung ukhti satu pilihan impianku terlalu berat sehingga aku gagal. Kegagalan tidak membuatku patah semangat, aku merasa masih ada proses kedua tetapi pilihanku seakan asal-asalan meski demikian ibu menguatkanku “jurusan tidak menentukan keberhasilan” dan atas ridho-Nya dan ridho ibuku aku masuk diperguruan tinggi pilihanku dan bertemu orang-orang hebat di kos “Kuri”.
UNNES menjadi tempat kuliahku, banyak hal yang aku dapat disini, teman, ilmu dan keluarga. Kos “Kuri” menjadi tempat kenangan indahku bersama teman yang sudah menjadi keluarga. Kos itu berisikan 12 orang yang 6 orangnya berasal dari kota yang sama dan yang lain beragam. Keluargaku adalah yang 6 orang itu ukhti aku perkenalkan terlebih dahulu ada Eli, Putri, Devi, Nurul, Fian dan Lely. Mereka dari satu sekolah menengah atas yang sama meski dulunya beda kelas mereka terlihat sangat akrab dari cara bicaranya. 
Proses menuju syar’i ku bermula ketika awal masuk kuliah awalnya aku masih memakai celana jeans karena teman-temanku banyak yang memakai rok hatiku mulai merasa malu memakai celana jeans jadi pelan-pelan aku mulai mengganti celanaku dengan rok panjangku dan masih memakai jilbab yang sama yaitu jilbab paris tipis yang hanya perlu dikaitkan peniti lalu ujungnya aku sampirkan di pundak. Perkenalan dengan teman-teman baru dijurusan memberikan kesan yang berbeda dari pakaian yang aku kenakan ini setelah memakai rok banyak pertanyaan yang mereka lontarkan seperti “apa kamu anak pondok? Aku kira kamu anak pondok”. Aku mulai berfikir tenyata pakaian memberikan penilaian baru untuk orang lain. Ketika pakaian kita lusuh dan bolong dimana-mana orang akan menganggap kita anak brandal dan apabila pakaian kita rapi berkemeja orang juga akan menganggap kita anak baik-baik. Hari demi hari sudah terlewati hingga pada satu titik yaitu setiap mahasiswa wajib mengikuti satu organisasi. Aku cukup sulit untuk masuk organisasi dari 2 organisasi yang aku pilih ternyata dua-duanya dinyatakan gagal sempat putus asa tapi putus asa hanya untuk orang-orang lemah sedangkan aku, aku adalah orang hebat. Dikeputus asaan itu aku teringat perkataan Ustad Yusuf Mansur “Allah dulu, Allah terus, Allah lagi”. Perkataan itu menguatkanku bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang kesusahan apabila dia mau meminta dan berusaha. Hidayah Allah pun datang, organisasi rohis sedang membuka magang untuk anggota baru. Sebuah kesempatan yang mungkin perlu dicoba pikirku. Masuk  sebagai peserta magang aku merasa aneh dan sedikit memicingkan mata pada mbak-mbak cantik dengan kerudung yang sangat panjang seperti mukena. Perasaan aneh bergejolak ketika ketua departemen menyuruh anggota magang untuk memakai hijab yang sama dengan mbak-mbak itu. Sempat bingung tetapi ada jalan Allah disana sehingga aku mulai mengganti kerudung tipisku dengan yang agak tebal dan menutup dadaku, memakai kaos kaki dan tidak mengenakan pakaian ketat. Sedikit demi sedikit perasaan ragu dan aneh mulai hilang dari pikiranku mengenai hijab syar’i dan orang-orang yang berjilbab panjang serta bercadar. Ada banyak hal yang mambuatku serasa di hargai ketika digoda pun kalau belum memakai jilbab syar’i digodanya dengan kata “cewek” setelah memakai jilbab syar’i jadi berubah yaitu “ assalamualaikum”. Hijrahku  didukung teman-teman kos dengan gayaku karena mereka juga mengenakan jilbab yang lebar juga. Tahukah ukhti teman-teman yang hebat akan menebarkan kehebatannya pada orang lain sedang teman yang buruk akan menebarkan keburukan.
Perubahanku menuju syar’i terlihat mudah ketika di kampus tapi dirumah tidak semudah membalikan telapak tangan. Orang yang aku cinta melihatku seperti teroris dan itu jadi tekanan sendiri  di batinku. Alasanku memakai hijab syar’i tidak diterima oleh ibuku dan aku perlahan mengerti dan memperbaiki kesalah pahaman ibu. Awalnya aku masih menuruti ibuku untuk memakai celana lagi ketika dirumah tetapi pelan-pelan mulai berganti menjadi rok. Setiap melihatku ibu selalu menasihati tidak usah memakai pakaian atau jilbab yang berlebihan cukup yang biasa sehingga orang tidak aneh melihatmu katanya. Nasihat, nasihat dan nasihat ibu hanya aku dengarkan karena aku percaya ketika seseorang lebih mendekatkan diri pada Allah, Allah akan lebih dekat dengan hamba itu. Ini adalah caraku mendekatkan diri bukan untuk durhaka tapi wujud rasa cinta untuk melindungi ibuku dari panasnya api neraka karena tidak bisa mendidik anak perempuannya. Nasihat ibu sedikit demi sedikit mulai berkurang tentang pakaianku seolah tidak peduli ternyata peduli yaitu ketika ibu mulai memilihkan pakaian yang agak longgar untuk piranti kuliah. Ibu membuatku terharu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar