Dear Ukhti,, hijrah menuju syar’i adalah posisi yang sulit untukku. Mengenakan hijab bisa dikatakan baru untuk aku karena hijab ini baru menutup rambutku ketika aku lulus sekolah menengah atas (SMA) mungkin kurang lebih sekitar 2 tahun. Awal lulus, hijab ini kupakai saat wisuda meski masih belum sempurna tapi menuai beragam tanggapan dari semua temanku ada yang memuji ada pula yang ragu dengan keputusanku ini. Sebenarnya sudah lama aku ingin berhijab tapi ibu ragu dengan keputusanku karena takut nantinya tidak akan istiqomah seperti kalau ada penilaian renang nanti hijabnya di lepas. Alasan ibu ada benarnya juga pikirku kali itu, karena temanku juga seperti alasan ibu.
Langkah
setelah lulus adalah memilih perguruan tinggi, ini juga membuatku bingung ukhti
satu pilihan impianku terlalu berat sehingga aku gagal. Kegagalan tidak
membuatku patah semangat, aku merasa masih ada proses kedua tetapi pilihanku seakan asal-asalan meski demikian ibu menguatkanku “jurusan tidak menentukan keberhasilan” dan atas
ridho-Nya dan ridho ibuku aku masuk diperguruan tinggi pilihanku dan bertemu
orang-orang hebat di kos “Kuri”.
UNNES
menjadi tempat kuliahku, banyak hal yang aku dapat disini, teman, ilmu dan
keluarga. Kos “Kuri” menjadi tempat kenangan indahku bersama teman yang sudah
menjadi keluarga. Kos itu berisikan 12 orang yang 6 orangnya berasal dari kota
yang sama dan yang lain beragam. Keluargaku adalah yang 6 orang itu ukhti aku
perkenalkan terlebih dahulu ada Eli, Putri, Devi, Nurul, Fian dan Lely. Mereka
dari satu sekolah menengah atas yang sama meski dulunya beda kelas mereka
terlihat sangat akrab dari cara bicaranya.
Proses
menuju syar’i ku bermula ketika awal masuk kuliah awalnya aku masih memakai
celana jeans karena teman-temanku banyak yang memakai rok hatiku mulai merasa
malu memakai celana jeans jadi pelan-pelan aku mulai mengganti celanaku dengan
rok panjangku dan masih memakai jilbab yang sama yaitu jilbab paris tipis yang
hanya perlu dikaitkan peniti lalu ujungnya aku sampirkan di pundak. Perkenalan
dengan teman-teman baru dijurusan memberikan kesan yang berbeda dari pakaian
yang aku kenakan ini setelah memakai rok banyak pertanyaan yang mereka
lontarkan seperti “apa kamu anak pondok? Aku kira kamu anak pondok”. Aku mulai berfikir
tenyata pakaian memberikan penilaian baru untuk orang lain. Ketika pakaian kita
lusuh dan bolong dimana-mana orang akan menganggap kita anak brandal dan
apabila pakaian kita rapi berkemeja orang juga akan menganggap kita anak
baik-baik. Hari demi hari sudah terlewati hingga pada satu titik yaitu setiap
mahasiswa wajib mengikuti satu organisasi. Aku cukup sulit untuk masuk
organisasi dari 2 organisasi yang aku pilih ternyata dua-duanya dinyatakan
gagal sempat putus asa tapi putus asa hanya untuk orang-orang lemah sedangkan
aku, aku adalah orang hebat. Dikeputus asaan itu aku teringat perkataan Ustad
Yusuf Mansur “Allah dulu, Allah terus, Allah lagi”. Perkataan itu menguatkanku
bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang kesusahan apabila dia mau meminta dan
berusaha. Hidayah Allah pun datang, organisasi rohis sedang membuka magang
untuk anggota baru. Sebuah kesempatan yang mungkin perlu dicoba pikirku.
Masuk sebagai peserta magang aku merasa
aneh dan sedikit memicingkan mata pada mbak-mbak cantik dengan kerudung yang
sangat panjang seperti mukena. Perasaan aneh bergejolak ketika ketua departemen
menyuruh anggota magang untuk memakai hijab yang sama dengan mbak-mbak itu.
Sempat bingung tetapi ada jalan Allah disana sehingga aku mulai mengganti
kerudung tipisku dengan yang agak tebal dan menutup dadaku, memakai kaos kaki
dan tidak mengenakan pakaian ketat. Sedikit demi sedikit perasaan ragu dan aneh
mulai hilang dari pikiranku mengenai hijab syar’i dan orang-orang yang
berjilbab panjang serta bercadar. Ada banyak hal yang mambuatku serasa di
hargai ketika digoda pun kalau belum memakai jilbab syar’i digodanya dengan
kata “cewek” setelah memakai jilbab syar’i jadi berubah yaitu “
assalamualaikum”. Hijrahku didukung teman-teman
kos dengan gayaku karena mereka juga mengenakan jilbab yang lebar juga. Tahukah
ukhti teman-teman yang hebat akan menebarkan kehebatannya pada orang lain
sedang teman yang buruk akan menebarkan keburukan.
Perubahanku
menuju syar’i terlihat mudah ketika di kampus tapi dirumah tidak semudah
membalikan telapak tangan. Orang yang aku cinta melihatku seperti teroris dan
itu jadi tekanan sendiri di batinku.
Alasanku memakai hijab syar’i tidak diterima oleh ibuku dan aku perlahan
mengerti dan memperbaiki kesalah pahaman ibu. Awalnya aku masih menuruti ibuku
untuk memakai celana lagi ketika dirumah tetapi pelan-pelan mulai berganti
menjadi rok. Setiap melihatku ibu selalu menasihati tidak usah memakai pakaian
atau jilbab yang berlebihan cukup yang biasa sehingga orang tidak aneh
melihatmu katanya. Nasihat, nasihat dan nasihat ibu hanya aku dengarkan karena
aku percaya ketika seseorang lebih mendekatkan diri pada Allah, Allah akan
lebih dekat dengan hamba itu. Ini adalah caraku mendekatkan diri bukan untuk
durhaka tapi wujud rasa cinta untuk melindungi ibuku dari panasnya api neraka
karena tidak bisa mendidik anak perempuannya. Nasihat ibu sedikit demi sedikit
mulai berkurang tentang pakaianku seolah tidak peduli ternyata peduli yaitu
ketika ibu mulai memilihkan pakaian yang agak longgar untuk piranti kuliah. Ibu
membuatku terharu.